Musibah yang Mengingatkanku
Upik Samantamuh
Minggu. 15 Juni 2008
Hari masih menggelintirkan senyuman-senyuman semangat yang dinanti mentari pada pagi. Backsound kongkongan ayampun jelang kegelisahan malam yang tersingkir oleh sorotan matahari yang perkasa, dimana awan mengindahkan cerah dan langit mulai memudarkan kegelapan. Akupun terbangun dengan setengah nyawa yang belum sadarkan jiwa. Tak terasa badan mulai membisikkan rasa yang tak enak kepada tubuh yang berbeda dengan kecerahan pagi. Seketika aku menggeliat di pembaringan dengan penuh pengharapan akan tiap kegelisahan. Aku berteriak memanggil ibu tuk memeriksa keadaanku, aku sakit pada waktu itu.
Selama beberapa jam aku masih berbaring, mencemaskan keadaan yang semakin sakit kurasakan. Aku berkata “inikah cobaan yang menimpa asaku”. Aku memikirkan setiap apa yang telah kualami sebelumnya, aku selalu menyatakan bahwa ini adalah karma, karma yang membalas kesalahanku tempo dulu.
Namaku adalah Hidayattullah. Aku sering dipanggil Ayat. Aku masih duduk dibangku sekolah Menengah Atas kelas dua. Aku adalah anak lelaki yang masih penasaran dengan dunia luar, haus akan pergaulan yang mendewasakan pemikiran. Butuh waktu yang lama untukku merubah sifat kekanak-kanakanku dan aku juga anak yang sangat pendiam dan bahkan sangat jarang berkomunikasi. Ini bisa disebut dengan kekuranganku tapi disamping kekurangan itu aku mempunyai kelebihan yaitu semangat, ya semangat tuk merubah diri ini menjadi lebih baik.
Aku tidak banyak mempunyai teman, apalagi sahabat. Bagiku kata sahabat itu tidak ada dalam hidupku, karena beberapa bulan bahkan tahun aku memutuskan tuk mencari sahabat tetapi tak ada yang mau menjadi sahabatku. Waktu itu, aku mempunyai cita-cita besar yaitu menjadi pegawai negeri, cita-cita yang mungkin tak bisa dicapai.
Sabtu, 4 Agustus 2007
Aku ingat dulu pernah bercerita dengan saudaraku bernama Dahlan, Ia aku anggap sebagai adik angkatku, aku berkata padanya “kau tahu cita-citaku Lan?” Aku bertanya dengan sedikit senyuman. ”Wah, tak tahu lah kan kau yang punya cita-cita, kalau cita-citaku sih tahu! Dahlan menjawab dengan sdikit kebingungan. “Ah, payah kau, namanya juga tebak-tebakan apa salahnya untuk kau jawab. Asal kau tahu ya, cita-citaku tuh menjadi Pegawai Negeri, kau tahu Lan apa itu Pegawai Negeri?” Tanyaku padanya. “Tak tahu aku”. jawabnya. “Akh, kacau kau. Pegawai Negeri tuh orang yang kerja dikantor Lan. Mereka itu pegawai-pegawai yang tercatat di dinas”. Jawabku ketika itu yang hanya mengarang saja, dan aku sendiri belum mengerti apa itu Pegawai Negeri. Akukan SD sudah Negeri, SMP sudah Negeri, SMA aku harus Negeri, Kuliah aku harus Negeri dan Pegawai pun harus Negeri Lan”. Jawab aku dengan perasaan bangga. “Ah, bisa saja kau”. Dahlanpun tersenyum dengan sedikit menggaruk-garuk kepalanya. “Ohiya, ada satu lagi Lan, Nikahpun aku harus Negeri Lan. Hahahahahahaha”. Aku dan Dia tertawa terbahak-bahak dengan sedikit air liyur yang menetes karena tak tertahan oleh rasa gembira.
Bisa disebut Dahlan ini yang ku anggap sahabatku. Ia mengerti akan sifatku yang memang aku dan dia sama-sama mempunyai kemiripan sifat.
Senin, 14 Juli 2008
Sesudah kejadian itu, aku terkena musibah yang tak henti ku terima. Aku sakit DBD yang sangat menyiksaku, dengan kesakitan yang luarbiasa kurasakan. Aku dirawat di rumah sakit selama tiga minggu. Pada waktu itu, aku baru naik ke kelas tiga SMA. Sesudah aku pulang dari Rumah Sakit Aku tidak mengetahui informasi masuk sekolah karena pada saat pertama kali masuk, aku tidak hadir karena ketika itu masih berada di rumah sakit. Akupun melihat orang-orang sedang berbaris dengan jumlah yang banyak bahkan hampir semua siswa berbaris dilapangan, aku hanya berpikir bahwa mereka itu sedang berbaris Upacara karena hari ini adalah hari Senin yang ruti sering diadakan Upacara Bendera sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai. Kemudian aku masuk kelapangan bermaksud untuk ikut serta dalam upacara tesebut. Terkaget sekali aku ketika langsung dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolah yaitu Pak Margana, Ia adalah guru sekaligus Wakil Kepala Sekolah yang sangat ditakuti oleh semua siswa yang ada di sekolah.
“Hei, sini kamu! Darimana kamu jam segini baru datang?” tegor Pak Margana kepada aku yang sedang berjalan. “Maaf Pak, Saya telat”. Aku menjawab dengan tubuh merinding kaku. “Boleh saya ikut serta dalam Upacara Pak?” Tanya aku karena bingung mau apa. “Kata siapa ini Upacara, Upacara sudah sedari tadi dilaksanakan, kamu kemana saja?” Jelaskan Pak Margana secara tegas.
Ternyata yang berbaris dari tadi itu bukan melaksanakan Upacara akan tetapi siswa-siswi yang notaben semua telat, kalau begitu dari siswa sebanyak itu yang paling telat adalah aku. Aku mati kutu diantara pandangan mata yang tajam melihat kearah mataku yang tak terbalas olehku karena aku hanya bisa tertunduk tersipu malu. “Maaf Pak, Saya tidak tahu masuk sepagi ini, saya tidak mendapat informasinya”. Aku pun membela diri. “Memang kamu tidak hadir pada hari pertama masuk sekolah, waktu itukan saya sendiri yang mengumumkan bahwa mulai Tahun Ajaran Baru ini kita masuk pukul 07.00 pagi, tidak adakah temanmu yang memberitahu?” Pak Marganapun masih penasaran kepadaku yang sudah menjadi mangsanya.
“Saya tidak tahu apa-apa Pak, saya baru saja keluar dari Rumah Sakit karena sakit demam berdarah, sudah tiga minggu saya dirawat inap Pak, sekarangpun saya belum sembuh benar. Inipun saya tidak kuat untuk berdiri disini”. Aku memberikan argumentasi kepada Pak Margana yang agak prihatin melihatku. “Oh, kalau begitu alasannya, Bapak maafkan kamu, cepat sekarang kamu masuk kekelas dan jangan ulangi lagi perbuatanmu ini”. Dia pun memberikan petuahnya kepadaku yang sudah berkeringat dingin karena malu dilihat banyak orang.
Minggu, 3 Agustus 2008
Hari-haripun kini ku jalani dengan percaya diri dan menikmati hidup yang kian rumit. Akupun tak dapat mengontrol diriku yang entah aku sendiri bingung kenapa diri ini tak bisa ku kendalikan. Hal inipun terus berlanjut dan tak terkendali. Aku menangis miris mendengar teman-teman dan saudara-saudaraku berkata bahwa aku sedang stres, tetapi yang aku sendiri bingung dengan keadaan yang aku rasa sangat berbeda dan terasa ada yang mengendalikan tubuh ini untuk melakukan apapun yang aku ingin lakukan, tapi disamping itu aku sadar apa yang aku lakukan ini salah. Hari terus berlanjut, sedangkan aku masih belum bisa mengendalikan tubuhku yang sudah sering memberontak bahkan yang lebih parah sampai aku tega memarahi orangtuaku yang sangat bingung dengan keadaanku ini.
Akupun kembali sekolah dan belajar dengan keadaan yang masih terguncang akan musibah yang telah aku lalui. Aku hidup dengan keadaan berhati-hati mulai dari berangkat dari rumah ke sekolah sampai pulang kerumah dari sekolah. Itu semua ku lakukan karena ada peristiwa yang sedikit mengherankanku dimana orang-orang terdekatku mengalami berbagai musibah, pamanku mengalami musibah kehilangan motor setelah malamnya aku berkunjung kerumahnya untuk bersiraturahmi, kemudian saudara iparku tabrakan motor didepan mataku sampai dilarikan kerumah sakit karena ada tulangnya yang patah. Ini semua merupakan suatu yang peristiwa aneh yang aku alami setelah aku sakit.
Akupun tidak tinggal diam. Aku mencoba menyarankan kepada seorang teman sebangkuku yang bernama Dalu untuk berhati-hati pula takut dirinyalah yang menjadi korban. Pada saat itu, Rasa bingung selalu menghantuiku. Hatiku dipenuhi gelisah. Otakku gelap oleh kabut yang tebal.
Sampai pada waktu itu, ketika hari mulai menampakkan kegelisahannya pada malam. Aku pulang dari sekolah dengan mengendarai sepedah motor lamaku. Kebetulan aku baru dibelikan motor baru tetapi bannya bocor dan aku paksakan untuk memakai motor lamaku. Dengan helm baru bawaan dari motor baru itu aku mencoba untuk mengencangkan gas motor yang ku kendarai. Aku menikmati itu dan terus menambah kecepatan dengan jalanan yang meliak-liuk bagaikan Sirkuit Sentul yang ada di daerah Bogor. Aku lupa dengan kata hati-hati yang sebelumnya aku ingatkan kepada diri ini. Pada kelokan terakhir dijalan yang aku sebut sirkuit itu, terkagetlah aku melihat motor yang berada didepanku dengan kecepatan yang cukup seimbang. Aku berusaha untuk membelokkan stang motor ku dan itu hanya sia-sia karena takdir berkata lain. Akupun beradu stang motor dan motor yang aku kendarai kalah dan terjatuh dengan kecepatan yang aku sendiri tidak tahu.
Aku terlempar sangat jauh dari motorku. Aku mencoba untuk berdiri dan kulihat orang yang menabrakku lari dengan membawa rasa kemenangannya karena dia tidak terluka apa-apa. Akupun sendiri waktu itu, tak ada orang karena tempat itu sangat sepi jarang dilalui kendaraan. Disekitarnya hanyalah sawah yang padinya sudah menguning yang sebentar lagi akan di panen. Hanyalah hembusan angin yang menemani kekecewaanku yang lemah terlunglai kaku. Aku berdiam diri sejenak meratapi apa yang sudah terjadi. Terlihat oleh mataku darah yang segar mengalir dari lutut yang masih terhalang oleh celana sekolahku. Aku mencoba melihat darah apa yang ada di celanaku ini. Perlahan-lahan aku lipat-lipat celanaku sampai terlihat bongkahan daging seperti dibacok oleh sebilah golok. Ini membuatku sangat kaget dan terguncang, yang ada dipikiranku hanya Rumah Sakit dan operasi. Akupun terlintas wajah orangtuaku yang kemungkinan harus mengeluarkan uang kembali untuk musibah yang ku alami ini.
Terlihat seorang lelaki dewasa berjalan dan menghampiriku. “Ada apa de, kenapa ini, tabrakkan ya?!” Tanya Bapak itu kepadaku dengan sangat penasaran. “Saya tidak apa-apa Pak, saya minta tolong pak!” jawab aku dengan sedikit rasa sakit. “Apa yang saya bisa bantu de, kamu mau nelpon orangtuamu?” Tanya bapak itu. Bukan Pak, motor saya ditengah jalan, bisa tolong dipindahkan kepinggir jalan Pak, saya tidak kuat untuk berdiri”. Ucapku. “Iya, bisa de”. Diapun membantu aku yang sedang kritis karena urat yang ada didaerah lutut terputus sehingga banyak darah yang keluar dan menyebabkan aku semankin lemah tak berdaya. Aku dilarikan ke Rumah Sakit didaerah Karawaci Tangerang. Kedua orangtuaku pun datang dan sangat sedih melihat keadaan kaki yang cukup parah itu. Dokterpun menyarankan operasi untuk kakiku. Aku sedih dan menangis karena melihat orangtua yang cukup menderita melihat keadaan anaknya yang terus-menerus diliputi musibah dari Allah.
Akupun dirujuk kerumah sakit umum didaerah Tangerang Kota karena mahalnya operasi dirumah sakit itu yang mencapai 10 juta. Ini semua juga karena orangtua sudah mengeluarkan banyak uang karena musibah-musibah yang ku alami. Batinku selalu menangis melihat orangtua yang selalu tersenyum dan menyemangati hidup ini.
Jumat, 19 September 2008
Alhamdulillah, Sampai pada akhirnya, Operasi dan terapi-terapi agar aku bisa berjalan sudah kulalui. Aku terus berpikir dan berjuang untuk hidup dan bertaubat kepada Allah Swt. Berkat doa dan semangat dari orang-orang yang menyayangi aku, akhirnya musibah yang menimpaku telah ku lewati dengan sabar. Aku terus berusaha menjadikan hidup ini suatu cobaan yang harus aku lalui insyallah semua ini akan menghasilkan karya yang baik di Lauh mahfudz. Amin Ya Allah Ya Robbal Alamin.
-SELESAI-
:untuk orangtuaku, abah dan ibu tercinta
Upik Samantamuh nama pena dari Taufik Hidayat. Lahir di Tangerang, 19 Mei 1990. Sedang menimba ilmu di FKIP Judiksatrasia Untirta, Serang. Aktif di Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia & LDK Baabussalam Untirta. Karyanya bisa dilihat di antologi puisi Empat Amanat Hujan (Dewan Kesenian Jakarta) dan di blognya yaitu samantamuh.blogspot.com. Email: upik_samantamuh@yahoo.com
Tobat Mengingatku
Tobatku berbisik hati
jagalah ragamu
Tobatku menyapa raga
Ikutilah hatimu
Tobatku berbicara pada mulut
jaga lisanmu
Tobatku membisikkan telinga
dengarlah baiknya
Tobatku berkata pada mata
jaga pandanganmu
Tobatku memanggil kaki
jagalah langkahmu
Dan tobatku berteriak pada hidup
Ingatlah matimu…
Akupun berucap pada tobat…
Terimakasih…
kau mengingatku
Serang, 2010
Bintang pun Bicara
:Untuk abah
bintang tak lagi diam
mengingatkan pesan pada bulan
membentuk gugusan bintang kemintang
yang kini indah dimalam kelam
pada gugusan itu ia berikan tanda
seperti morse yang mewakili kata
kelap kelip jadi manja
tanpa sepatah kata…
bintang pun kini bicara
mengalunkan kasih pada cinta
yang lama terpendam dalam cahya
tersentak aku oleh makna
pada gemerlap tulisan asa
tersimpan sejuta kisah
disepertiga malam yang indah
Bonang, 2010
Sajak dari Ibu
:untuk ibu tercinta
tahun ini masa yang ku kenang slalu
berikan metamorposis pada aku
yang dulu pesimis lagi kaku
kemarin aku dapat sajak dari ibu
seperti surat kasih terhadap cinta
menyemangatiku dalam tiap langkah
dia slalu berikan cairan emas pada batu
disamping mutiara yang laku
kini batupun bukan lagi batu
ialah sebongkah emas yang ditunggu
tuk jadikanku penyemangatmu
dalam tiap langkah dan nafasmu
Bonang, 2010
BENUA KEGELISAHAN
Sepuntung gelisah yang kini menerpa
Buat ku lari, tanpa lihat arah angin
Bingung melihat keadaan ini yang makin menghimpit
Diriku diantara benua kegelisahan
Bonang, 2011
Metamorfosis Malam
Kegelapan yang dipancarkan sang malam
memberikan isyarat kepada sang pagi
yang menunggu ditepian kalbu
bagai sejoli terpisah oleh waktu
dimana mereka saling merindu dan kelak merapat mencumbu
menyapamu dengan pancaran kalbu
diwaktu subuh kala itu,
kau berikan sorotan indah yang terpancar mentari
dan kegelapan malam beringsut,
hilang…
sembunyikan kegelisahan
pada metamorfosis malam
Bonang, 2011
Komentar
Posting Komentar