Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2011

Gerombolan Semut

Dulu kulihat kobaran api menari-nari menyajikan lantunan memori yang hanyut dalam nalar Tak terasa air pun terjun mengalir Dan aku tersungkur dengan keadaan ini, Menyerah dalam kalut sepi. Kini gerombolan semutpun tak lagi satu Mereka saling beradu Tapi diam dalam kemelut Serang, 2010

Kemelut

Perjalanan tanpa arah Mengundang senyum tanpa makna Mengundang tawa tanpa kata Menjalin cinta tanpa kasih Tanpa harapan… Tanpa suatu apa Arah tanpa tujuan Makna tanpa senyum Kata tanpa tawa Kasih tanpa cinta Hambar semuanya Serang, 2010

Ruang Pemanggangan

Ketika itu aku jadi pengemis tatapan Harap cemas dari lemparan muka Karena paksaan yang menimpaku Aku gagap tak bernyawa Tapi mereka tak tahu Apa yang dicemaskan angin terhadap debu Yang menjadikan dia kelabu Suasanapun mengundang hangat tanpa api Memandikan kucuran keringat yang mengalir disetiap tatapan Serang, 2010 Tawa Canda Suara  pecah bergerutu dengan petikan senar Bersamaan dengan kulit yang didendangkan Tapi dengan kepolosan palsu mereka Jadikan tawa merindukan canda Serang, 2010

Sapihan Takdir

Sedih aku menyapih takdir Melarikan diri dari kenyataan Tanpa memberikannya bekal harapan Aku ingin kau pergi tapi ingin ku…  Kau disini  Tanpa tujuan latar kau berjalan Menyampaikan keluh tangis manja Pada senja... kau kembali padaku menemaniku Serang, 2010

Tandu Kematian

Kelembaban suaramu menyingkap sejuta tema Dengan semburan seribu kata Kau tembakan peluru-peluru angin yang berhembus Tatkala kau diam menyimpan kotoran memori Aku tersentak melihatmu Melangkah dengan tandu kematian Serang, 2010 Sajakmu   Siang itu, kau memberikan sajak padaku sajakmu tak bermakna Tak berarti apa-apa Sampah pun masih bisa beruang Aku tidak butuh sajakmumu                                                                                                    ...

Jejaka

Seorang jejaka kini tak lagi sendiri Melemparkan butiran semangat pada sadar Tanpa meniduri malam yang kelam Disisi gelap tanpa cahya Kau kini berlalu tanpa sendiri Memulai awal pada zaman Aku senyum bersama canda Merangkulmu tanpa tanya Serang, 2010

Huruhara

Hari ini langit didatangi awan hitam Dengan angin menyapu debu Tetesan airpun jatuh berhamburan Mirip sekali dengan hujan Kecemasan itu datang Dengan ditemani  huru hara Mereka menyelam dalam canda Aku tak mau mereka datang Canda itu sekarang menyatu dengan huru hara Ia bersamanya pada hari itu Tak ada yang bisa menghalangi Karena semua takdir Tuhan   Bonang, 2010

Kesendirian 1

Kesendirianmu pada keramaian Membuatku ingat pada kesedihan Kau membuatku merindukan laut pada air Merindukan ranting pada daun Merindukan tanah pada rumput Merindukan pena pada tinta Kau menyimpan seribu impian Tanpa berharap datangnya kenyataan Mataku tak kuasa membendung air yang akan membanjiri  lautan Tak sempat aku bertanya pada laut yang merindukan air Tak terpikir olehku bertanya pada ranting yang merindukan daun Tak terlintas dipikiranku bertanya pada tanah yang merindukan rumput Dan kupun tak ingat untuk bertanya pada pena  yang merindukan tinta Bonang, 2010 Kesendirian 2 Kesendirianmu pada keramaian Mengundang seribu tanya Membuatku ingat pada kesedihan Mencemaskanku pada kegalauan Kau menyimpan seribu impian Tanpa berharap datangnya kenyataan Mataku tak kuasa membendung air Yang akan membasahi awan pada hujan Ku ingin kau pergi pada keramaian Untuk membuang seribu tanya Kuingin kau genggam impian dengan kenyataan ...

Ayahanda

Aku hanya ingin membawa kabar pada koran Memberikannya sejumlah kebahagiaan dan Sebelum kau tahu koran Kau berbalut kesedihan Umurmu yang kini berkepala enam Tak gentar melawan zaman Kau habiskan waktumu Seperti bulan yang hadir pada malam Aku tak mungkin meninggalkan bulan pada malam Kau selalu memberikanku cahaya Aku begitu sedih melihat keadaan ini Kau terpojok disela-sela pintu Dengan ketakutan yang mengganjal Aku ingin memelukmu Menghadirkan senyum indah diwajahmu Mencoba menghilangkan kegundahan atas sedihmu Kau tercengang melihatku Bonang, 2010

Letus Merapi

kemarin merapi meletus menumpahkan kotoran-kotoran yang terpendam dalam perut mungkin tak kuasa menahan kentut merapi meletus kembali dengan mengeluarkan penyakit-penyakit mulai dari penyakit sesak napas hingga penyakit tutup usia merapi kini sudah tua dengan batuk bebatuan dia menghembuskan napas panas dan ingusnya membakar yang ada dialah merapi... merapi yang kini meletus merapi yang sudah tua Bonang, 2010 

Rindu Indonesiaku

Indonesia kini Bukan Indonesiaku yang dulu Negri yang kini dikotori luapan napsu Menjadikan semakin kelabu Aku rindu indonesiaku yang dulu Sejatera lagi sentosa Tanpa adanya sikap biadab Kini indonesiaku menangis Menumpahkan air dari laut Memuntahkan api dari kawah Meniupkan angin kehancuran Menggetarkan ranah kehidupan Memporak-porandakan negri kelam Aku rindu indonesiaku yang dulu… Bonang, 2010

Intermezzo Kematian

Umur kian menipis Ajal kian menyapa Kegundahan ku pada ajal Seperti air meninggalkan laut Kian lama tubuh kian layu Bagai daun yang berguguran Tenaga bukan lagi mesin Otakpun tak lagi guna ah...Izrail menunggu memorandum Aku lemah  tak berdetak Menimpa kata Menyapa Tuhan... dan Mati meningglkan asa Serang, 2010

Sepi

Lelaki dulu  sendiri Sepi… Tak ada yang menemani            Sekarang lelakipun sendiri Ramai… Mendekat dalam sepi                                                                                                                                         Serang, 2010  

Interpretasi Cakrawala

Membaca Koran Membaca kehidupan Mozaik keindahan Luasnya cakrawala Wawasan terbuka Indahnya informasi Kemegahan jiwa                                                                   terbentang di peluluk mata  Serang, 2010

Kota Lamun

kota bukan lagi kota disana terlihat sudut kebingungan tanpa adanya pojok kebahagiaan kota itu bukan lagi kota pencarian peta kehidupan ditiap langkah pengakuan ahh..hidup kacau penuh rezki berlinang harta miskin budi                                                                                                                                                                            Serang, 2010

Tobat Mengingatku

Tobatku berbisik hati jagalah ragamu Tobatku menyapa raga Ikutilah hatimu Tobatku berbicara pada mulut jaga lisanmu Tobatku membisikkan telinga dengarlah  baiknya Tobatku berkata pada mata jaga pandanganmu Tobatku memanggil kaki jagalah langkahmu Dan tobatku berteriak pada hidup Ingatlah matimu…                                           Akupun berucap pada tobat… Terimakasih… kau mengingatku  Serang, 2010

Senyuman Hati

Seonggok daging kini tak segar lagi Mengkerut, pucat tak berarti Mengeluh tak henti Sendiri dalam jiwa sepi Ramai dalam lamunan tiba tapi... Senyum hatimu menyapa jiwaku Mengetuk pintu sadarku Menimpa relung batinku Aku ingat tekadmu... Kau tetap kuat dengan akar kakimu Melangkah, dan menyambung hidup tanpa kata Bonang, 2010

Ingatkah kau...

Leloncatan air dari awan Melantunkan percikan pada genteng Diiringi suara sungai bergemuruh Bak ombak yang menggulung Ingatkah kau hari itu? Bale bambu beralaskan tikar pandan Yang kuat menopang berat tubuhmu dengan rumah bilik yang menolongmu dari dingin dan panas Ingatkah kau hari itu? Damar menerangi malam sepi Selimut menghangatkan tubuh Hanya kopi hitam dan lisong yang menemani rondamu Ingatkah kau hari itu? Senyuman manja menari Mengingat masa kecil dalam dekap sepi Mengubur gelisah, membuang amarah dan tuk tidur sementara Ingatkah kau hari itu? Bonang, 2010

Virus Manis

Sapamu padaku Terngiang dikokleaku Lebarkan bibir saat tiba khayalku Aku terkena virus manismu Ketika itu, Enam puluh menit Tidak terdengar sapamu, Bagai enam puluh jam Tak jua lihat dirimu Lucu memang, Tapi..lamunan itu buatku bahagia Tanpa terpikir masalah yang ada dan selalu kunanti itu semua Bonang, 2010

Lambang kehidupan

Otakmu Kulambangkan Kecerdasan Matamu Kulambangkan kemegahan Mulutmu Kulambangkan Perdamaian Telingamu Kulambangkan Keingintahuan Tanganmu Kulambangkan Kekuasaan Kakimu Kulambangkan Kegagahan Hatimu Kulambangkan Keimanan dan Ragamu Kulambangkan Kekufuran Bonang, 2010

Oase di Kaki Gunung

sorotan bulan menerang dipermukaan gelap berikan pantulan pada malam menghias pandang dinginnya rasa barisan ranting yang menjulur menyambut keheningan seperti Tentara sambut komandan bersama roda itu berputar, terngiang bisikan sunyi mendamaikan hati dan jiwa yang bertengkar latar ini buatku meratap, menanyakan suatu apa pada alam yang ditemani kabut malam letih menyapa raga sekejap Mendamaikan hati dan jiwa yang bertengkar pagi kini mulai  tumbuh memancarkan sorotan hangat yang menyapu kegelapan mengundang embun ditiap tetesan kabut pagi membangunkan jiwa kecerahan alam kini bersamanya teriakan ayam jadi backsound dikala itu bak alarm yang berdering disuatu pagi dikaki gunung aroma pagi menyumbat hidung kala itu ku terbangun  dari pengikisan penat semilir angin bawa rombongan kabut jadikan oase ditiap tatapan sunyi senyap masih menemaniku nikmati indahnya ranah kehidupan yang berbeda disuatu pagi di kaki gunung Ciomas, 2010

Bintangpun Bicara

:Untuk abah                                                                                                                                                             bintang tak lagi diam       ...

Mimpi Kuadrat

Dalam imaji tidurku Aku berlari kesana kemari Membuatku lelah tanpa   henti Akupun bermimpi, tertidur dalam dekap sepi Dengarkan dongeng ibu lembut damaikan hati Aku tersadar dengan membuka kelopak mata Dan bernalar yang sudah tertata Bingung menghantui karna aku bermimpi dalam mimpi Serang, 2010

Garetan Pena

garetan pena terus berlari menuju takdirnya melenggangkan tubuh dengan kelenturan kakinya terus dan terus melangkah ikuti jejak tanpa berteriak kata horizontal pun jadi bengkok melumpuhkan takdir yang didambanya perlahan menggerakkan sisasisa tinta yang tinggal hanyalah insan prakata Serang, 2010

Sajak Sajak Patung

kumpulan patung kini bergerak melihat dunia pada sajak torehan tinta pun jadi rampaian kata jadikan mereka pandai bicara kumpulan patung pun kini berlari menghirup kata tanpa henti mengintari makna dalam langkah sepi jejaki hidup pada intuisi hati Indahnya dunia Indahnya.. sajaksajak patung Serang, 2010

Sajak dari Ibu

:untuk ibu tercinta tahun ini masa yang ku kenang slalu berikan metamorposis pada aku yang dulu pesimis lagi kaku kemarin aku dapat sajak dari ibu seperti surat kasih terhadap cinta menyemangatiku dalam tiap langkah dia slalu berikan cairan emas pada batu disamping mutiara yang laku kini batupun bukan lagi batu ialah sebongkah emas yang ditunggu tuk jadikanku penyemangatmu dalam tiap langkah dan nafasmu   Serang, 2010

Wahai Tanah Air

Wahai Tanah Air… Jangan biarkan ramai terpenjara dalam kesunyian Jangan biarkan cahya terpenjara dalam kegelapan Jangan biarkan canda  terpenjara dalam kegundahan Jangan biarkan tenang terpenjara dalam kepenatan dan jangan biarkan tawa terpenjara dalam kesedihan serta jangan biarkan hati ini terpenjara oleh nafsu tapi… biarkanlah kesunyian terpenjara dalam ramai biarkanlah kegelapan terpenjara dalam cahya biarkanlah kegundahan  terpenjara dalam canda biarkan kepenatan terpenjara dalam tenang dan biarkanlah kesedihan terpenjara dalam tawa serta biarkanlah nafsu ini terpenjara dalam hati bangkitlah Tanah Air… Bonang, 2010

Di Penghujung Negeri Kelam

di Penghujung Negeri pemujaan mu terhadap malu tak sebesar biji zarahpun kau terlalu mengubar nafsu tuk kau nikmati percayalah, kau takkan bisa tersenyum ketika kau di akhir tahun ini kau kan termenung, diam , sendiri dalam keramaian tak ada lagi tamu yang sudi menengokmu pikirkanlah sikapmu   yang menggelintirkan rodaroda kelam jangalah menarikan tarian hina di mata dunia tanah kau pun bukan lagi Tanah Air Beta pun takkan lagi betah melihat warisannya terhina Manakah revormasi yang merubahmu? Orde baru atau lamakah yang merombakmu? Aku lihat dulu, dulu sekali Kau tak begini. Sejarahmu menorehkan namamu Kau tahu bagaimana di penghujung negri ini, Air ditumpahkan oleh laut Api dimuntahkan oleh kawah Angin meniupkan kehancuran Tanah menggetarkan ranah kehidupan   Semuanya memporakporandakan negeri yang kelam Mana revolusi yang kau janjikan? Serang, 2010

Aku

Aku bukanlah mawar yang selalu senyum ketika mekar Aku bukanlah api yang bersemangat ketika berkobar Aku bukanlah air yang riang ketika mengalir Aku bukanlah tawa yang tersenyum ketika canda Aku bukanlah sepi yang hening ketika sendiri Aku bukanlah angin yang sejuk ketika berhembus Aku bukanlah cahaya yang terang ketika tersinar Aku bukanlah duri yang menyakitkan ketika menusuk Aku bukanlah daun yang menemani sang ranting Aku bukanlah senyum yang terkembang ketika senang Aku bukanlah malaikat yang tak kenal dosa Aku bukanlah setan yang tak kenal tuhan tapi aku adalah aku yang   mengenal diri ini                                                                                         Bonang, 2011 Benua Kegelisahan     Sepuntung gelisah yang kini...

Metamorfosis Malam

Kegelapan yang dipancarkan sang malam memberikan isyarat kepada sang pagi yang menunggu ditepian kalbu bagai sejoli terpisah oleh waktu dimana mereka saling merindu dan kelak merapat mencumbu menyapamu dengan pancaran kalbu diwaktu subuh kala itu, kau berikan sorotan indah yang terpancar mentari dan kegelapan malam beringsut, hilang… sembunyikan kegelisahan pada metamorfosis malam Bonang, 2011

Biografi

Secarik PENGENALAN Taufik Samantamuh yang bernama asli Taufik Hidayat. Lahir di Bojongnangka, sebuah Kampung kecil di pinggiran Kota Tangerang pada tanggal 19 Mei 1990. Dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana, beranggotakan lima bersaudara dan dia merupakan anak bungsu dari keluarga H. Nursaman & Hj. Muhati. Dia memulai pendidikannya langsung pada sekolah dasar tanpa mengenyam pendidikan Taman kanak-kanak terlebih dahulu. Dia sekarang sedang memompa ilmu di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Riwayat pendidikannya SDN Bojongnangka, SMPN 1 Legok Tangerang, SMAN 1 Curug Tangerang dan sekarang dia sedang berkuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan Kampus dengan julukan Small University. Dia kini aktif di komunitas sastra seperti Kubah Budaya, Rumah Dunia Belistra (Bengkel menulis dan sastra) Untirta. Dia pun mempunyai keinginan menjadi seorang penyair nasional dengan memulai mengirimkan karya-karyanya ke media-m...

Cerpen

M u s i b a h   y an g M e ng i n g at ka n k u Upik Samantamuh Minggu. 15 Juni 2008 Hari masih menggelintirkan senyuman-senyuman semangat yang dinanti mentari pada pagi. Backsound kongkongan ayampun jelang kegelisahan malam yang tersingkir oleh sorotan matahari yang perkasa, dimana awan mengindahkan cerah dan langit mulai memudarkan kegelapan. Akupun terbangun dengan setengah nyawa yang belum sadarkan jiwa. Tak terasa badan mulai membisikkan rasa yang tak enak kepada tubuh yang berbeda dengan kecerahan pagi. Seketika aku menggeliat di pembaringan dengan penuh pengharapan akan tiap kegelisahan. Aku berteriak   memanggil ibu tuk memeriksa keadaanku, aku sakit pada waktu itu. Selama beberapa jam aku masih berbaring, mencemaskan keadaan yang semakin sakit kurasakan. Aku berkata “inikah cobaan yang menimpa asaku”. Aku memikirkan setiap apa yang telah kualami sebelumnya, aku selalu menyatakan bahwa ini adalah karma, karma yang membalas kesalahanku   tempo dulu. Namaku ...